oleh

Money Politik Horor Bagi Pendatang Baru

Oleh Melky Molle

Pencalonan legislatif, dari pusat sampai ke daerah tahun 2024 sudah gencar dibicarakan dalam komunitas-komunitas masyarakat.  Sosialisasi diri  setiap calon legislatif sudah berjalan, baik berupa baliho, maupun stiker-stiker yang diedarkan di pintuk-pintu rumah masyarakat, ditempat keramaian, juga dirumah-rumah makan sudah sangat jelas terpampang. 

Bentuk sosialisasi baik perorangan maupun partai semuanya mendapat tanggapan masyarakat. Seperti halnya yang dicurhati oleh salah seorang anggota partai yang ditemui ditemui di rumahnya. Sebut saja beliau adalah A.M. (Nama samaran)  beliau menceritakan pengalamannya ketika mensosialisasikan diri sebagai calon anggota legislatif Halmaher Utara. Cuplikan cerita A.M: ” Saya ini pusing, setiap masyarakat di dapil saya sakit, saya selalu dihubungi dengan harapan saya dapat membantu uang pengobatan. Bukan soal sakit saja, tetapi soal sekolah (biaya studi akhir) , menikah, dan peminangan. 

Apapun kesusahan mereka, mereka pasti menghubungi saya agar saya dapat membantu mereka”. Karena itu saya tetap berusaha apapun itu, dengan susah payah, walaupun bantuan yang saya berikan secukupnya, saya berupaya membantu mereka. Tapi, saya lalu bertanya, saya ini baru akan memulai sebagai calon anggota legislatif, bukan anggota legislatif, tapi permintaan masyarakat tidak mempertimbangkan itu. Mereka terlihat biasa saja, jika mereka meminta bantuan kepada saya”. Lalu bagaimana peran partai selama ini, incumben aktif, apan peran mereka dalam rangka memberi pemahaman terkait peran mereka untuk memperkuat pendidikan politik., sehingga sikap dan tindakan-timdakan partisan seperti ini dapat diminimalisir dan tidak memakan korban. Demokrasi kita adalah demokrasi yang menakutkan alias horor. 

Keluhan dari cuplikan ini, memberi gambaran kepada kita apa adanya, bahwa momentum pileg dapat dijadikan peluang untuk mengobjekan calon anggota legislatif. Berikut, bahwa modus operandi masyarakat bahwa seolah-olah pileg dimaknai sebagai ajang memilah, atau menyeleksi kebaikan para caleg. Caleg yang siap membantu orang sakit, orang duka, menikah, dan meminang adalah caleg yang layak didefinitifkan menjadi anggota legislatif (anggota DPRD) sementara caleg yang bermodalkan ide-ide dan gagasan tidak patut dan tidak layak. Jika demikian yang terjadi sebagai realitas demokrasi kita, maka gagasan dan ide-ide tidak mendapat tempat dihati masyarakat. 

Sementara perubahan dan kemajuan suatu daerah adalah ide dan gagasan seperti melahirkan perda, memperkuat fungsi kontrol dan bajet, yang dibutuhkan kekuatan epistemik. Karena itu kesadaran masyarakat adalah benteng demokrasi yang paling utama dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Karena masyarakat yang memilih caleg atas dasar uang adalah sikap yang tidak mendidik dan tidak demokratis. Fakta kita adalah masyarakat, mereka atau bagi mereka “minta uang dapat uang secara cepat, itulah demokrasi, itulah politik yang sesungguhnya.  Padahal rakyat (nitizen) sebagai penentu citra pileg, pilbub, pilgub dan masa depan negara atau daerah sudah harus menjadi alasan mendasar. 

Banyak pakar menyebut, bahwa bukan hanya rakyat (konstituen) yang menentukan citra pileg dan pemilukada (pileg pilbub, pilgub), tetapi siapapun yang mempengaruhi rakyat guna mendapatkan dukungan dari rakyat juga besar pengaruhnya terhadap citra demokrasi. Salah satu penyakit politik dan penyimpangan hukum yang menodai citra pesta demokrasi (pileg dan pemilukada) adalah politik uang (money politics).

Sudah saatnya setiap anggota masyarakat tidak menggadaikan demokrasi dengan politik uang, karena politik uang hanya akan membuat masa depan Negara atau daerah menjadi makin terpuruk sebagai Negara atau daerah tanpa etika. Politik uang dapat dikategorikan sebagat praktik suap-menyuap atau perbuatan terlarang yang merugikan atau merusak bangunan (konstruksi) pemerintahan kita. Jika seseorang memiliki satu sen uang, maka dia berkuasa sejauh satu sen atas manusia, demikian ungkap Daniel Duncan, yang ditujukan sebagal kritik keras terhadap setiap orang yang punya kekuasaan atau berobsesi merebut kekuasaan yang menjadikan uang sebagai alat utamanya.

Duncan sangat geram terbadap seseorang atau sekelompok orang dalam komunitas politik yang bermaksud menggunakan uang sebagai senjata utama untuk memenangkan pertarungan dalam merengkuh kekuasaan. Dalam penilaiannya, uang digunakan dengan cara demikian bukan hanya akan menutup kran persaingan yang sehat, cerdas, dan berhati nurani, tetapi mampu menempatkan kesejatian diri manusia di bawah kekuasaan uang. 

Sebenarnya bukan hanya Duncan yang geram dan menggangap horor menyaksikan perilaku seseorang atau petualang petualang politik yang menggunakan uang sebagai alat mendistorsi demokrasi suci didalam kandungannya. Resistensi terhadap money politik harus digalakan sejak dini untuk mendialogkannya sebagai upaya menentang secara gesit diruang-ruang publik yang dalam bahasa Habermas disebut sebagai demokrasi deliberatif. Semoga

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed