oleh

POLITISASI SIMBOL AGAMA

Kasus Ahok dan Pelajaran untuk Daerah Mayoritas Muslim di Indonesia

Ilham Djufri

(Sekretaris MASIKA ICMI Maluku Utara)

Penggunaan simbol agama oleh kandidat dalam sosialisasi politik, terutama di daerah dengan mayoritas Muslim seperti Maluku Utara, bisa menjadi topik yang sensitif. Hal ini sering kali dilakukan sebagai strategi untuk menarik simpati atau dukungan dari pemilih Muslim, yang mungkin menjadi mayoritas dalam pemilih.

Dalam konteks Indonesia, politisi dari berbagai latar belakang agama kadang-kadang menggunakan simbol-simbol atau bahasa agama yang tidak mereka anut secara pribadi, dengan beberapa alasan: Penggunaan simbol agama bisa dianggap sebagai tanda penghormatan terhadap mayoritas pemilih. Kandidat mungkin mencoba membangun citra sebagai individu yang saleh dan berintegritas, yang bisa diterima oleh pemilih. Ini juga bisa menjadi upaya untuk menunjukkan bahwa mereka memahami dan peduli terhadap nilai-nilai serta tradisi mayoritas.

Namun, pendekatan ini juga bisa menuai kritik. Ada beberapa risiko dan potensi dampak negatif dari tindakan tersebut: Kandidat mungkin dianggap tidak tulus atau sekadar mencari popularitas tanpa benar-benar menghormati nilai-nilai agama yang mereka tampilkan. Beberapa pemilih mungkin merasa bahwa agama sedang dieksploitasi untuk tujuan politik, yang bisa memicu reaksi negatif. Hal ini bisa memperdalam garis pemisah antara kelompok agama yang berbeda, terutama jika dianggap sebagai upaya untuk memanipulasi keyakinan agama demi keuntungan politik.

Dalam sosialisasi politik yang melibatkan simbol agama, penting untuk menjaga keseimbangan antara menghormati keyakinan agama masyarakat dan tidak menggunakan agama untuk tujuan politik semata. Integritas dan kejujuran dalam menyampaikan pesan sosialisasi diri adalah hal yang esensial untuk menjaga kepercayaan publik.

Salah satu contoh spesifik tentang penggunaan simbol agama Islam oleh kandidat non-Muslim yang berdampak signifikan terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, yang meskipun bukan di Maluku Utara, memberikan gambaran yang relevan mengenai dinamika serupa yang bisa terjadi di wilayah lain. Kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) di Pilkada DKI Jakarta 2017: Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal sebagai Ahok, adalah seorang politisi beretnis Tionghoa dan beragama Kristen. Dia mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 setelah sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur dan kemudian gubernur, menggantikan Joko Widodo yang menjadi presiden. Dalam masa kampanye, Ahok sering kali mengunjungi berbagai masjid dan mengenakan peci, simbol umum yang sering dikaitkan dengan umat Muslim di Indonesia, sebagai bentuk penghormatan.

Kontroversi dan dampak pada sebuah kunjungan ke Kepulauan Seribu, Ahok menyampaikan pidato yang kemudian memicu kontroversi besar. Dalam pidato tersebut, ia merujuk pada ayat Al-Qur’an (Al-Maidah 51) yang menurutnya sering digunakan untuk menghalangi pemilih Muslim memilih pemimpin non-Muslim. Pernyataan ini ditafsirkan oleh beberapa pihak sebagai penistaan agama. Kontroversi ini memicu gelombang protes besar, dikenal sebagai Aksi 411 dan Aksi 212, yang diorganisir oleh berbagai kelompok Islam di Indonesia. Massa menuntut agar Ahok diproses hukum atas dugaan penistaan agama. Akhirnya, Ahok didakwa dan dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan penistaan agama. Kasus ini bukan hanya mempengaruhi hasil Pilkada DKI Jakarta (yang dimenangkan oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno), tetapi juga memicu perdebatan luas tentang penggunaan agama dalam politik, toleransi antaragama, dan kebebasan berbicara.

Pelajaran dari kasus ini memperlihatkan bagaimana penggunaan simbol agama dan isu-isu keagamaan dapat mempolarisasi masyarakat dan menciptakan ketegangan sosial yang signifikan. Tokoh agama memainkan peran penting dalam mempengaruhi opini publik, baik mendukung maupun menentang seorang kandidat. Pentingnya Sensitivitasoleh kandidat non-Muslim atau dari kelompok minoritas lain perlu berhati-hati dalam menggunakan simbol agama mayoritas untuk menghindari kesalahpahaman atau dianggap merendahkan keyakinan agama tersebut.

Sementara kasus ini terjadi di Jakarta, fenomena serupa dapat terjadi di daerah lainnya di Indonesia, di mana penggunaan simbol agama oleh kandidat non-Muslim bisa memicu reaksi dari masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Hal ini menekankan pentingnya sensitivitas dan kehati-hatian dalam sosialisasi politik yang melibatkan simbol dan isu keagamaan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed