HAL-SEL: MEDIAMALUT.ID – Polemik terkait adanya penambahan syarat bagi bakal calon Kepala Desa petahana dalam pemilihan Kepala Desa serentak gelombang pertama di Kabupaten Halmahera Selatan yang akan dihelat pada bulan Oktober 2022 mendatang mengundang kontroversi dan mendapat respon dari sejumlah kalangan termasuk dari salah satu Praktisi Hukum Maluku Utara, MS.Nijar, mengatakan bahwa persoalan ini harus segera dicarikan jalan keluarnya karena sangat berpotensi memicu konflik di masyarakat.
“Persoalan ini jika tidak segera diatasi maka dipastikan akan menuai protes dan dapat memicu konflik kepentingan bagi masing – masing pendukung bakal calon Kepala Desa pada saat menjelang pendaftaran nanti”.
Menurut Nijar, sejatinya penambahan syarat berupa Surat Bebas Temuan dari APIP Kabupaten Halmahera Selatan bagi calon Kepala Desa petahana sebagaimana termaktub dalam klausul Pasal 5 huruf (i) Peraturan Bupati Halmahera Selatan Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi diatasnya.
Mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair Ternate ini juga menjelaskan bahwa jika kita merujuk pada ketentuan Pasal 33 UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa jo Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa jo Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 jo Pasal 20 Peraturan Daerah Halmahera Selatan Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Desa jo Pasal 14 Peraturan Bupati Halmahera Selatan Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pemilihan Kepala Desa Di Kabupaten Halmahera Selatan, secara rigit telah mengatur perihal syarat pencalonan Kepala Desa termasuk Calon Kepala Desa petahana.
Advokat asal Pulau Obi yang akrab disapa Nijar ini, menegaskan bahwa dalam ketentuan regulasi diatasnya tidak mengenal istilah Surat Bebas Temuan dari APIP sebagai syarat pencalonan bagi calon Kepala Desa petahana. Calon Kepala Desa petahana hanya diwajibkan menyertakan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) atas pelaksanaan anggaran Dana Desa selama menjabat sebagai Kepala Desa, dan diwajibkan menyertakan bukti penyerahan aset desa kepada panitia pemilihan Kepala Desa, ungkapnya.
Ia juga memastikan jika Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan tetap saja memaksakan kehendaknya untuk menerapkan tambahan syarat tersebut maka akan terjadi pertentangan antara peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah. Persoalan seperti ini dalam terminologi hukum dan prinsip – prinsip dalam hierarkhi peraturan perundang – undangan dikenal dengan istilah konflik norma (antynomy normen) dan konflik norma seperti ini langsung dapat terjawab tanpa keraguan dengan menggunakan sandaran pada azas hukum lex superior derogat legi inferiori bahwa peraturan yang lebih tinggi tingkatannya di dahulukan keberlakuannya daripada peraturan yang lebih rendah, norma dalam peraturan yang lebih tinggi yang diutamakan, diberlakukan dengan mengabaikan serta meniadakan keberlakuan norma peraturan yang lebih rendah.
Dari paradigma dan konstruksi penalaran hukum inilah maka dapat disimpulkan bahwa penambahan syarat pencalonan Kepala Desa bagi calon petahana berupa Surat Bebas Temuan dari APIP yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan merupakan kebijakan yang inkonstitusional dan cacat hukum karena pengaturan tersebut tidak memiliki dasar dan rujukan hukum yang jelas sehingga berakibat menciderai hak konstitusional warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai calon Kepala Desa dan secara langsung dapat merusak nilai – nilai demokrasi lokal kita pada level paling bawah dalam sebuah negara demokrasi, tutup Nijar. (Pres Rilis)
Komentar